Siap Menghadapi Regulasi Impor yang Semakin Ketat: Panduan Praktis untuk Importir Indonesia
Dalam beberapa bulan terakhir, pelaku impor di Indonesia merasakan perubahan yang semakin ketat. Pemerintah memperkuat pengawasan, memperbaiki sistem digital, dan menutup celah yang selama ini menyebabkan kerugian negara—mulai dari under-invoicing, salah HS code, hingga impor barang yang belum memenuhi standar keselamatan.
Dengan hadirnya regulasi baru seperti Permendag 16/2025 dan pengetatan dari DJBC, importir kini harus bergerak lebih hati-hati agar tidak terjebak biaya tambahan atau bahkan penolakan barang.
Perubahan ini sebenarnya tidak sepenuhnya negatif. Indonesia sedang membangun ekosistem perdagangan yang lebih tertib, modern, dan aman. Namun bagi importir, transisi ini menuntut sistem internal yang lebih rapi dan persiapan lebih matang. Berikut panduan praktis yang dapat membantu importir tetap aman, efisien, dan patuh hukum di tengah lingkungan regulasi yang berubah cepat.
1. Kenali Landscape Regulasi Terbaru
Tiga tren utama perlu diperhatikan:
-
Pengawasan digital diperkuat melalui INSW, yang kini diarahkan menjadi pusat intelijen untuk memantau arus ekspor-impor secara real time. Sistem semakin mampu mendeteksi mismatch data, indikasi undervalue, dan izin yang belum lengkap.
-
Regulasi berbasis kluster (Permendag 16/2025) mengubah cara identifikasi barang—setiap komoditas kini punya aturan khusus terkait PI, LS, SNI, dan pembatasan lainnya.
-
Standar produk makin ketat, terutama SNI wajib, kewajiban sertifikasi halal, dan pengetatan BPOM untuk pangan, obat, kosmetik, dan suplemen.
Artinya, tidak ada lagi ruang untuk “coba dulu kirim, nanti urus belakangan.” Semua harus siap sebelum barang tiba.
2. Pastikan Legalitas Importir Siap 100%
Langkah awal yang sering diremehkan, namun paling krusial:
-
API-U atau API-P harus aktif dan sesuai kegiatan usaha.
-
NIK (Nomor Identitas Kepabeanan) harus valid dan data perusahaan di OSS, INSW, dan DJBC harus konsisten.
-
HS code harus ditetapkan dengan benar karena menentukan seluruh kewajiban: tarif, pajak, PI, SNI, bahkan potensi anti-dumping.
Kesalahan HS code atau izin adalah penyebab utama delay dan biaya tak terduga bagi importir.
3. Cek Kelayakan Produk Sebelum Dipesan
Sebelum mengeluarkan PO, lakukan pemeriksaan sebagai berikut:
A. Apakah barang termasuk dilarang atau dibatasi?
Cek daftar lartas terbaru pada Permendag 16/2025 dan peraturan sektor lainnya (Kemenperin, BPOM, Kementan, Kominfo).
B. Apakah butuh SNI?
Beberapa SNI wajib mensyaratkan:
-
audit pabrik,
-
uji sampel di lab terakreditasi,
-
unggah sertifikat ke INSW.
Prosesnya memakan waktu. Jangan kirim barang jika SNI belum siap.
C. Apakah butuh Halal, BPOM, atau izin teknis lain?
Produk makanan, kosmetik, suplemen, elektronik telekomunikasi, dan alat kesehatan memiliki persyaratan ketat.
Singkatnya: verifikasi dulu, impor kemudian.
4. Jalankan Kepatuhan Kepabeanan Tanpa Celah
Di lapangan, DJBC kini lebih detail memeriksa:
-
kesesuaian invoice ↔ packing list ↔ BL/AWB ↔ COO,
-
akurasi nilai pabean,
-
asal barang (FTA atau bukan),
-
kesesuaian izin dengan HS code.
Perbedaan kecil seperti berat, quantity, atau deskripsi barang bisa memicu red lane, pemeriksaan fisik, atau penetapan ulang nilai pabean.
Importir harus menyiapkan bukti kuat seperti kontrak pembelian, bukti pembayaran, hingga rekam komunikasi dengan pemasok.
5. Kontrol Total Biaya Impor: Tidak Ada Lagi Kejutan
Penting bagi importir untuk menghitung seluruh komponen biaya:
-
Bea masuk, PPN, PPh 22 Impor
-
Biaya demurrage/detention
-
Storage dan pemeriksaan fisik
-
Biaya surveyor atau uji lab
-
Biaya SNI/BPOM/Halal
-
Freight dan handling
Gunakan juga peluang tarif preferensi FTA (ACFTA, AJCEP, IA-CEPA, RCEP). Pastikan Certificate of Origin (CO) yang digunakan valid dan sesuai format.
Dokumen yang lengkap = barang keluar lebih cepat = biaya rendah.
6. Mitigasi Risiko Sejak Awal
Importir yang sukses adalah importir yang tidak hanya reaktif, tapi proaktif. Lakukan langkah pencegahan berikut:
-
Due diligence pemasok (cek kapasitas, sertifikat, rekam jejak).
-
Pre-shipment inspection untuk barang berisiko atau bernilai tinggi.
-
Arsip dokumen digital minimal 5 tahun.
-
Asuransi kargo untuk proteksi terhadap kerusakan atau kehilangan.
-
Perencanaan kontinjensi untuk potensi penolakan barang atau keterlambatan kapal.
Menjalin hubungan baik dengan lembaga resmi melalui jalur formal (sosialisasi DJBC, Kemenperin, Kadin, asosiasi) juga membantu memahami perubahan regulasi lebih cepat.
Penutup
Regulasi impor Indonesia memang semakin ketat, namun bukan berarti semakin sulit. Kuncinya adalah persiapan matang, dokumentasi rapi, dan pemahaman menyeluruh terhadap proses kepabeanan dan perizinan.
Importir yang mampu membangun sistem kepatuhan sejak dari PO hingga post-clearance akan menjadi pihak yang paling diuntungkan—lebih cepat, lebih aman, dan lebih efisien.
Jika Anda ingin membaca lebih banyak panduan praktis atau insight terkini tentang kepabeanan, supply chain, dan PLB, Anda dapat mengunjunginya melalui blog TCI