Testimoni Kontak Kami

Mau Patuh Tidak Cukup: Celah Kecil yang Bisa Jadi Temuan Besar di Era Pengawasan Baru Impor

Mau Patuh Tidak Cukup: Celah Kecil yang Bisa Jadi Temuan Besar di Era Pengawasan Baru Impor

Mau Patuh Tidak Cukup: Celah Kecil yang Bisa Jadi Temuan Besar di Era Pengawasan Baru Impor

Temuan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam dua minggu terakhir di Tanjung Priok dan Tanjung Perak menunjukkan bahwa pengawasan impor Indonesia memasuki fase yang jauh lebih ketat. Pemeriksaan kini tidak hanya menargetkan pelaku yang sengaja melakukan manipulasi, tetapi juga kesalahan kecil yang sering tidak disadari importir yang sebenarnya bermaksud patuh.

Banyak importir yakin bahwa selama dokumen lengkap dan tidak ada niat melanggar, maka proses akan lancar. Namun, pola baru pengawasan membuktikan bahwa kepatuhan administratif saja tidak cukup. Sebaliknya, yang diuji adalah konsistensi data, akurasi dokumen, dan kemampuan importir membuktikan nilai transaksi secara lengkap.


1. Selisih Harga Kecil Bisa Jadi Temuan Besar

Sistem pembanding harga DJBC kini semakin agresif. Selain database internal, nilai barang juga dibandingkan dengan harga pasar, marketplace, dan histori impor barang serupa.

Kasus di Tanjung Perak—barang senilai hampir Rp50 juta diberitahukan hanya US$7—menjadi contoh ekstrem. Namun yang perlu dicatat adalah: anomali harga sekecil apa pun kini mudah terbaca.

Importir yang patuh sekalipun bisa masuk pengawasan jika:

  • harga supplier terlalu rendah dan tidak ada penjelasannya,

  • komponen biaya tidak lengkap (packing, handling, tooling),

  • atau bukti transaksi tidak mendukung nilai yang diberitahukan.


2. Dokumen Vendor Tidak Selalu Memenuhi Standar Indonesia

Ini adalah area yang paling sering membuat importir “merasa patuh” padahal sebenarnya tidak siap audit.

Invoice yang terlalu umum, packing list tidak rinci, atau deskripsi barang yang generik bisa dianggap tidak transparan—meskipun tidak ada niat salah.

Untuk konteks Indonesia, DJBC membutuhkan:

  • uraian barang yang sangat detail,

  • bukti nilai transaksi yang dapat dijelaskan,

  • konsistensi dokumen dari PO sampai bukti bayar,

  • dan struktur biaya yang masuk akal.

Importir patuh harus memastikan vendor luar negeri mengikuti standar lokal, bukan standar negara asal.


3. Ketidaksinkronan Internal Menjadi Fokus Pemeriksaan

Pemeriksaan sekarang tidak hanya melihat dokumen satu per satu, tetapi hubungan antar-dokumen.

Kesalahan berikut sering dianggap kecil, tapi di era pengawasan baru menjadi isu besar:

  • Nilai PO ≠ invoice,

  • tanggal pembayaran berbeda jauh dari tanggal invoice,

  • BL tidak sinkron dengan packing list,

  • biaya freight berubah tanpa penjelasan,

  • atau SKU internal tidak jelas hubungannya dengan HS code.

Kombinasi ketidaksinkronan seperti ini dapat ditafsirkan sebagai potensi misdeclaration.


4. Bagaimana Importir Patuh Bisa Tetap Nyaman Menghadapi Pengetatan Ini

Kepatuhan kini berarti:

  • bisa membuktikan logika harga,

  • siap dengan dokumen pendukung,

  • memiliki jejak digital yang rapi,

  • dan menutup semua celah yang bisa dianggap janggal.

Di titik ini, banyak perusahaan mulai memperkuat proses internal dan memilih mitra logistik yang memiliki sistem dokumentasi kuat serta dashboard yang memudahkan audit trail.


(Subtle) Peran TCI dalam Mengurangi Risiko Importir

Tanpa mengubah proses bisnis importir, pendekatan TCI yang berbasis sistem digital real-time, rekam jejak dokumen lengkap, dan kontrol alur transaksi yang transparan membantu perusahaan:

  • memastikan dokumen vendor dan internal sinkron,

  • menyimpan seluruh jejak dokumen dalam satu platform,

  • mengurangi risiko selisih data yang dapat memicu pemeriksaan,

  • dan memudahkan pembuktian nilai transaksi jika terjadi klarifikasi.

Dengan proses impor yang semakin diawasi, kemampuan untuk menunjukkan consistency, traceability, dan clarity menjadi kunci.
Importir yang siap secara dokumentasi akan tetap menikmati kelancaran meskipun standar pengawasan terus meningkat.

Back To Articles